Well, people.. it's been a really long time ya. It took some time for me to convince myself to keep writing in this blog, and furthermore to not delete this page.
So, for me - at least - this is a start. I choose to hijrah. Not moving to another place to live, I just choose to change everything in me. So, let me tell you about my way to hijrah.
Postingan saya kali ini saya ingin berbagi pengalaman dengan teman teman semua mengenai pengalaman saya hingga saya memutuskan untuk hijrah. Sesungguhnya hijrah bukanlah perkara gampang. Sulit sekali bagi saya untuk meninggalkan masa lalu saya. Laa hawla wa laa quwwata illa billah. Namun berkat pertolongan dari Allah SWT, In Syaa Allah proses ini bisa dilalui. So, let's we start.
Semua berawal di sekitar bulan April 2016 ini yang merupakan sebuah titik balik kehidupan bagi saya. Kisah ini terjadi dikarenakan adanya kesempatan bagi saya untuk menjalankan ibadah umroh. Bagi saya yang saat itu masih berada di masa-masa jahiliyah, kesempatan untuk beribadah umroh saya terima dengan perasaan ragu-ragu. Kenapa? Tenang, semua akan terjawab dalam tulisan saya ini.
Saya memang sudah memutuskan untuk mengenakan hijab sejak saya berumur 15 tahun, tepatnya ketika saya duduk di bangku kelas X SMA. Jadi, saya sudah mengenakan hijab selama kurang lebih 10 tahun. Tapi, saat itu hijab yang saya gunakan hanya sekedar hijab untuk menutupi rambut saya. Baru sekarang ini saya sepenuhnya sadar bahwa hijab yang saya kenakan pada waktu itu bukanlah hijab yang sesuai syariat, bukanlah hijab yang sesuai dengan perintah Allah SWT di Al Qu'ran. Saya masih mengenakan celana jins, kaos, dan terkadang pakaian itu begitu melekat di tubuh saya sehingga menampakkan bentuk tubuh saya meski saja mengenakan hijab. Saya juga masih bergaul dengan laki-laki yang bukan mahram saya, masih suka tertawa terbahak-bahak, dan hal-hal lainnya yang tidak mencerminkan seorang muslimah.
Ketika datang kesempatan bagi saya untuk melaksanakan umroh di tanah suci, jujur, saat itu saya agak takut untuk menjalankannya. Pernah dengar, bahwa apa yang kita lakukan selama hidup kita ini, akan langsung mendapatkan balasannya di tanah suci Makkah? Misal, selama hidup kita ini suka memaki orang, nanti hal itu biasanya akan dibalas di tanah suci, kelak di tanah suci sana nanti kita akan kena makian dari orang lain. Cerita cerita semacam ini begitu meneror pikiran saya karena sudah banyak orang orang yang mengalaminya dan menceritakannya kepada saya.
Saya banyak sekali berpikir saat itu. Saya takut apa yang saya lakukan selama ini akan mendapatkan balasannya disana. Saya mulai tersadar bahwa sudah banyak sekali kesalahan-kesalahan yang sudah saya perbuat. Saya merasa diri saya masih menyimpan sisi yang munafik. Saya masih malas malasan membaca Al Qu'ran, jarang sekali bahkan hampir tidak pernah datang ke Majelis Ta'lim, majelis ilmu, atau kegiatan serupa lainnya, seringkali terlintas hal-hal yang penuh kesombongan dalam benak saya, saya sulit sekali menahan emosi, saya juga sulit sekali menahan kesabaran, ego saya terlalu tinggi, sehingga seringkali saya bertengkar dengan orang tua saya, dan masih banyak lagi perilaku-perilaku buruk yang pernah saya lakukan. Hal-hal itu amat sangat saya sesali bahkan hingga saat ini. Percayalah, pada akhirnya kita akan berada di satu titik dimana kita benar-benar menyesali atas segala hal - sekecil apapun itu - yang pernah kita lakukan dahulu. Ya, memang. Kesalahan membuat kita belajar dan saya harap kita semua bisa belajar dari kesalahan-kesalahan kita dan menjadikan kesalahan kita itu sebagai batu pijakan untuk menjadi lebih baik.
Hingga tiba saatnya saya berangkat umroh. Saya sungguh sangat takjub dan bersyukur atas apa yang telah Allah SWT berikan pada saya selama saya menjalankan ibadah umroh. Saat tiba di Jeddah, tidak ada perasaan yang khusus, semua berjalan biasa biasa saja. Sedikit cemas dan was-was. Hingga saya memasuki kota Madinah, kota Rasulullah SAW, kota tempat Rasulullah SAW tinggal, tempat Rasul kita, Muhammad SAW, dimakamkan, tempat Rasulullah SAW menghabiskan banyak masa hidupnya. Ketika memasuki tanah haram, rasanya tubuh saya seperti disiram air yang sangat dingin. Hati saya berdebar dan bergetar. Sulit dibayangkan rasanya berada begitu dekat dengan Rasululllah SAW. Saya tidak pernah menyangka saya memiliki kesempatan untuk bisa berada di bawah langit yang sama dan di atas tanah yang sama dengan tempat Rasulullah SAW pernah tinggal. Saya tidak pernah menyangka bahwa saya, seseorang yang penuh dosa ini, diizinkan Allah SWT untuk memasuki tanah Haram. Saya hanya bisa bersujud syukur karena Allah SWT memberikan kesempatan itu untuk saya. Kemudian saya dilingkupi perasaan sedih. Tepatnya haru, karena Maha Baik Allah SWT yang mengizinkan saya yang begini hina untuk merasakan perasaan yang sulit sekali saya deskripsikan ketika berada di tanah Haram.
Di tanah Haram Madinah, saya mulai merasa rindu sekali dengan Rasulullah SAW dan saya mulai menyesal dengan waktu yang telah saya lewati tanpa mengingat beliau. Rasanya saya tidak ingin jauh dari masjid Nabawi, masjid Rasulullah SAW. Rasanya saya tidak ingin lagi berada terlalu jauh dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Namun, kala itu masih ada keraguan dalam hati saya untuk berhijrah.
Di Madinah, atas Kuasa Allah SWT, saya diberikan kesempatan untuk bisa masuk ke dalam Rhaudah, makam Rasulullah, dan beribah di dalam masjid yang bersebelahan persis dengan makam Rasulullah. Tidak kuasa saya untuk menahan tangis. Rasanya saya begitu dekat dengan Rasulullah. Saya masih menyesal karena saya banyak mengingkari ajaran dan sunnah nya. Padahal Rasulullah selalu meminta ampunan bagi umatnya kepada Allah SWT, tapi saya sebagai umatnya Rasulullah SAW, malah banyak mangkir dan ingkar dari apa yang sudah diajarkan nabi Muhammad SAW. Saya begitu malu dan menyesal. Sambil menangis, saya bersyukur atas kesempatan yang datang kepada saya untuk merasakan perasaan itu. Di dalam bangunan asli masjid Nabawi, saya memohon ampun dan berdoa kepada Allah SWT. Disitu, hati saya mulai berniat untuk membuat janji. Janji yang sampai saat ini In Syaa Allah masih saya jalani. Hijrah.
Dari Madinah kegiatan umroh pun dilaksanakan, umroh ke kota suci Makkah. Kota dengan daya tarik terbesar di muka bumi ini. Kota yang menjadi magnet terbesar bagi seluruh umat Muslim di bumi ini. Kota yang menjadi pusat di muka bumi ini. Masya Allah. Lagi lagi hati saya dinaungi perasaan berdebar dan merinding. Betapa dekatnya saya dengan Ka'bah. Ka'bah yang menjadi kiblat bagi umat Muslim seluruh dunia. Ka'bah yang biasanya hanya ada di dalam bayangan ketika kita solat di rumah. Ya Allah 'Azza Wa Jalla. Perasaan haru lagi-lagi datang dalam hati saya. Begitu Allah SWT Maha Baik yang membiarkan saya, yang penuh dosa dan nista ini, menginjakkan kaki di tanah suci Makkah.
Ketakutan saya lainnya sebelum berangkat umroh adalah saya takut saya tidak bisa menangis ketika melihat Ka'bah. Karena banyak pendapat yang berkata bahwa jika seseorang yang melihat Ka'bah dan ia tidak menangis, berarti orang itu memiliki hati yang keras. Saya sendiri merasa berhati keras, dan saya takut saya tidak akan menangis atau tergetar hatinya ketika melihat Ka'bah. Memasuki Masjidil Haram, saya semakin berdebar. Saat itu ustadz yang memimpin rombongan kami, menyarankan untuk kita menjalankan solat Isya terlebih dahulu sebelum memasuki area Ka'bah. Perasaan saya masih saja berdebar. Rasanya berada di dalam bangunan Masjidil Haram seperti mimpi. Mimpi yang bahkan tidak berani saya impikan sebelumnya. Setelah solat dan berdoa, rombongan kami pun mulai memasuki area Ka'bah. Begitu nampak Ka'bah di depan wajah saya, perasaan yang saya rasakan adalah perasaan rindu. Entah bagaimana, perasaan itu seperti perasaan ketika seseorang melepas rindu. Ya, saya merasa seperti akhirnya saya bertemu dengan seseorang yang selama ini sangat saya rindukan, yang selalu saya nantikan pertemuannya. Masya Allah. Sulit sekali saya mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaan saya saat itu. Kali pertama perjumpaan saya dengan bangunan suci Ka'bah. Benar-benar seperti magnet. Rasanya ingin sekali berlama-lama melihatnya dan berdoa kepada Allah SWT didepannya. Keyakinan saya luar biasa hebat ketika berada di dekat Ka'bah. Saya merasa Allah SWT benar benar dekat di hati saya. Saya merasa Allah SWT terus menerus mengikuti saya sepanjang saya berada di dalam masjidil Haram. Begitu dekat..
Hingga sampai hari terakhir saya di masjidil Haram, saya masih belum berkesempatan untuk menyentuh kiswah Ka'bah. Sedikit iri dalam hati ketika beberapa orang di rombongan saya menceritakan pengalaman mereka untuk menyentuk kiswah. Tapi saya juga sadar, itu sebagai bahan introspeksi diri saya, bahwa saya masih manusia berlumur dosa, saya masih menjadi manusia yang belum pantas untuk menyentuh Ka'bah. Akhirnya saya mencoba mengikhlaskan hal itu. Sampai akhirnya tawaf Wada selesai dilaksanakan, ustadz saya bertanya, "adakah di antara jama'ah ini yang belum berkesempatan untuk menyentuh Ka'bah?", saya pun mengangkat tangan.
"Saya ustadz. Saya belum."
"Mau pegang?"
"Mau, tadz."
"Yaudah ayuk. bershalawat lah pada nabi Muhammad SAW dan berdzikir kepada Allah SWT. In Syaa Allah kita coba mendekati Ka'bah."
Saya pun mengikuti apa yang diperintahkan oleh ustadz. Dan Maha Suci Allah SWT, ketika saya berjalan menyebrangi kerumunan jama'ah yang sedang tawaf untuk sampai di dekat pintu Ka'bah, Allah SWT seperti membukakan jalan, Allah SWT memberikan kemudahan, seakan-akan orang-orang menyingkir untuk memberikan rombongan kami jalan menuju dinding Ka'bah. Saya dan jamaah berhasil sampai di depan dinding Ka'bah tepat di samping pintu Ka'bah. Awalnya di depan saya ada seorang ibu dari negara lain yang sedang berdoa, tapi tidak berapa lama, ibu itu berdiri pergi sehingga saya bisa leluasa menyentuh kiswah dan dinding Ka'bah. Masya Allah. Perasaan saat itu, benar benar seperti melepas rindu. Seperti perasaan tenang dan nyaman. Seperti perasaan yang kita rasakan ketika kita berada di dekat orang tua kita, tenang, aman, dan nyaman. Saya tidak ingin mengakhiri perasaan saya. Saya ingin terus merasakan hal semacam itu di dalam hati saya. Sangat indah, sangat menyenangkan dan menenangkan. Saat itulah, saya semakin mantap dan yakin untuk berhijrah. Saya ingin berhijrah. Saya ingin meninggalkan hal-hal yang tidak sejalan dengan perintah Allah. Saya ingin mengubah diri saya. Saya ingin terus berada dekat dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. Saya harus meninggalkan diri saya yang dulu dan berhijrah ke arah yang lebih baik.
Sepulangnya ke tanah air, saya kembali ke aktifitas rutin saya. Proses hijrah saya diawali dengan hal yang paling sederhana, yaitu cara berpakaian. Saya mulai meninggalkan celana dan mengganti rok atau gamis. Saya tidak lagi mengenakan kerudung di atas dada, saya pelan palan mulai memanjangkan hijab saya. Memang tidak mudah karena saya mendapatkan banyak cemooh terutama dari teman-teman. Perlahan, teman-teman yang dahulu dekat dengan saya, satu per satu mulai menjauh. Beberapa teman mulai menjaga jaraknya dengan saya. Beberapa lainnya bahkan ada yang mengganggap saya mengikuti aliran esktrimis dan aliran aliran yang tidak jelas. Namun, Alhamdulillah saya masih memiliki sahabat-sahabat dan orang tua yang mendukung saya. Sehingga hal-hal seperti ini tidak menjadi kendala yang berarti bagi saya.
Red. Gambar ini diambil oleh Ayah saya 3 tahun sebelum saya umroh |
Cobaan pun datang silih berganti menguji keimanan saya. Beberapa kali saya sempat terpeleset, tapi dengan kebesaran Allah SWT, saya berusaha untuk istiqomah berada di jalan hijrah saya. Ini semua tidak lah mudah. Ketika kita berhijrah, demi Allah, dalam hati ada kalanya tersirat perasaan ujub (Ya Allah, jauhkanlah kami dari sifat ujub dan riya'. Semoga Allah SWT mengampuni kita semua). Ada kalanya kita memandang diri kita lebih baik dari mereka yang belum berhijrah. Subhanallah. Bahkan terkadang tanpa sadar kita sering kali memaksakan keyakinan kita kepada orang lain. Padahal belum tentu orang tersebut bisa menerima sesuatu seperti bagaimana kita menerimanya. Seperti perkataan seorang ustadz dalam kajian yang pernah saya ikuti, "Biarkan mereka membenci kita karena ilmu yang kita miliki, tapi jangan sampai mereka membenci kita karena akhlak yang kita miliki". Jangan sampai dengan ilmu yang kita miliki justru membuat kita semakin angkuh dan ketika menyampaikan ilmu, jangan sampai ada pemaksaan di dalamnya.
Hal sulit lainnya juga sempat datang dari pihak keluarga. Awalnya agak sulit meyakinkan orang tua bahwa saya ingin berhijrah, tidak hanya dari cara berpakaian tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Namun perlahan orang tua saya mulai menerima dan bahkan menjadi salah satu pihak yang paling mendukung. Saya hanya ingin mengembalikan fitrah saya sebagai seorang muslim. Saya ingin menjalankan apa yang telah disyariatkan oleh Allah SWT dan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Saya pelan pelan juga mulai meninggalkan musik. Ini juga yang sulit sekali karena biasanya dulu tiada hari tanpa musik. Tapi seperti salah seorang ustadz di salah satu kajian pernah katakan, "Musik akan memalingkan kita dari Al Qu'ran dan sebaliknya Al Qur'an akan memalingkan diri kita dari musik.", sejauh ini dengan bertemankan Al Qur'an, Alhamdulillah saya mulai meninggalkan musik. Alhamdulillah...
Proses hijrah ini cukup berat dan sulit. Tapi dengan kekuatan dari Allah SWT, segalanya menjadi terasa ringan. Hal ini juga karena, Alhamdulillah, saya memiliki sahabat-sahabat yang sangat mendukung proses hijrah saya. Saya mulai dikenalkan dengan acara-acara kajian rutin, saya diberikan berbagai macam pengetahuan yang sangat baik dan bermanfaat. Saya juga dipinjami buku-buku pengetahuan tentang fiqih. Ibu saya juga seringkali sharing ilmu dari hasil pengajian yang beliau ikuti.
Setelah mulai berhijrah, saya baru menyadari bahwa apa yang saya lakukan dahulu sangat jauh dari syariat Islam. Kini saya mulai memperbaiki semuanya. Mulai dari aqidah, akhlak, dan sunnah. Banyak sekali hal yang harus dipelajari. Seperti memulai semuanya dari awal. Saya merasa ingin semakin banyak belajar dan mencari tahu. Saya mulai mencoba mendatangi majelis majelis ilmu, berkenalan dengan teman-teman yang juga sedang berhijrah. Dan mengikuti beberapa kajian online.
Dari semua hal yang saya alami selepas umroh, ternyata ilmu dan pengetahuan yang selama ini saya banggakan tidaklah seberapa. Ternyata dulu saya begitu jauh dari Allah SWT dan Rasulullah SAW. In Syaa Allah kini saya yakin bahwa hijrah adalah jalan yang paling baik.
Memang terkadang iman dalam diri ini sering sekali naik dan turun. Ketika keimanan itu mulai surut, saya mencoba untuk berinteraksi dengan teman teman yang juga sedang berhijrah, mendatangi kajian-kajian rutin, berinteraksi dengan orang-orang sholeh, atau cara yang paling mustajab adalah dengan membaca Al Qur'an. Berikut doa yang diajarkan nabi Muhammad SAW untuk meminta ketetapan hati dari Sang Pemilik Hati, Allah SWT:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
Yaa Muqollibal Qulub Tsabbit Qolbi'ala Diinik
"Wahai Zat Yang Membolak Balikkan Hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu"
Begitulah kisah saya dalam melalui masa masa hijrah ini. Semoga menginspirasi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ٨:٥٦
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. [Al Qashash/28 : 56]
Semoga kita tergolong orang-orang yang mau menerima petunjuk dari Allah SWT. Aamiin Yaa Mujibassailiin Aamiin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
CRA.